Hai
Namaku S E N J A
Aku begitu elok, “itu kata mereka”
Aku terlahir dari keindahan bumi
pertiwi
Aku dibesarkan dengan kasih sayang
matahari dan oksigen yang senantiasa menghidupkan nafas senggalku
Hai
Aku S E N J A
Aku menapaki kehidupan terjal di
sini
Ini rumahku selama ini
Rumah yang untuk mempertahanakannya
butuh berkubik-kubik darah dan bermilyar ton kekuatan jiwa kebangsaan
Aku S E N J A
Aku menetap ketika matahari beranjak
pergi
Namun taukah kau?
Rumahku tetap indah meski sesaat
sebelum bintang bertaburan aku menghilang
Rumahku itu indah
Mereka yang kusebut ‘pendonor darah’
telah membangunnya dengan kokoh
Mereka yang kuberi nama ‘pemerdeka’
sudah menancapkan pondasi persatuan
S
E N J A
Tak berarti aku indah karena diriku
sendiri
Yah,
Aku S E N J A
Aku bersenyawa dengan bumi sejuta
pesona
Aku bersetubuh dengan bumi yang
dianugerahi Tuhan pegunungan pencakar langit
Aku bersenandung setiap waktu
Waktuku berserah dengan Ibu Pertiwi
Menyelam bersama mengarungi lautan
dan menyaksikan keelokan karang bawah laut di
bagian timur Ibu Pertiwiku
Menapaki kerasnya hidup bagai
bebatuan yang sering kutemukan di hulu-hulu sungai sepanjang rumah ini
Mencari arti kesetiaan ketika aku
dan yang lain berbeda
Ketika si A si B si C bahkan si Z
mempermasalahkan mengapa warna pelangi mejikuhibiniu
Menyusuri kenangan-kenangan yang
sedikit using dan tertumpuk waktu, tergeser apa yang disebut ‘modern’ oleh
banyak bibir
Kenangan yang sejatinya mampu
menumbuhkan rasaku
Rasa memiliki
Rasa menghargai
Rasa bangga
Rasa yang kini jarang mereka rasakan
namun rasa itu masih ada dalam hati mereka
Ini aku, S E N J A
Aku meninggikan apa yang harus
ditinggikan
Aku membanggakan apa yang memang
layak dibanggakan
Ini aku, S E N J A
Dan ini rumahku,
Rumahku yang elok melebihi diriku
Rumahku yang asri dengan pepohonan
penghasil oksigen
Rumahku yang arif oleh budaya dan
sikap toleransi
Rumahku yang kokoh dan abadi
Rumahku abadi,
Karena rumahku I N D O N E S I A!
Inilah akhir senandung S E N J A. . .
-Mijel, 120414-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar